Jakarta – Mata uang Garuda dibuka melemah 0,12 persen atau 16 poin ke Rp 12.988 per dolar AS di awal perdagangan hari ini, Jumat (30/9). Pada perdagangan kemarin, rupiah berakhir melemah 15 poin atau 0,12 persen ke posisi Rp 12.972 per dolar AS usai diperdagangkan pada rentang angka Rp 12.933 hingga Rp 13.005 per dolar AS.
Meskipun mulai terkoreksi, nilai tukar rupiah masih bertahan di bawah posisi Rp 13.000 berkat lancarnya pendapatan dari program pengampunan pajak (tax amnesty). Rupiah telah beranjak dari level Rp 13.000 mulai (27/9) lalu.
Ariston Tjendra selaku Kepala Riset Monex Investindo Futures menuturkan jika penguatan rupiah hingga di bawah posisi 13.000 ini berkat derasnya arus tax amnesty menjelang akhir dari tahap awal serta kebijakan penurunan suku bunga BI karena nilai inflasi di Tanah Air masih dalam taraf stabil.
“Masih terbuka peluang untuk pemangkasan lanjut untuk menstimulasi ekonomi. (Tapi harus ada aksi) meredam penguatan rupiah berlebihan karena tax amnesty. Pelaku bisnis tak ingin kalau penguatan dan pelemahan rupiah terlalu cepat akibat aliran masuk. Masih ada support 12.800, dan resisten 13.200-13.300,” ujar Ariston.
Sementara itu pengamat pasar uang Bank Woori Saudara Indonesia Tbk, Rully Nova mengatakan, “Nilai tukar rupiah bergerak melemah terhadap dolar AS namun masih terbatas, sebagian pelaku pasar melakukan aksi ambil untung setelah mata uang domestik pada hari sebelumnya mengalami kenaikan.”
Para pelaku pasar saat ini tengah mengantisipasi data ekonomi domestik yang akan dirilis pada awal pekan depan, tepatnya Senin 3 Oktober 2016. Salah satu data yang diperhatikan adalah inflasi September 2016.
“Diperkirakan inflasi masih berada di level rendah, data yang sesuai perkiraan dapat mendorong rupiah kembali terapresiasi,” ujarnya.
Dari faktor eksternal, data produk domestik bruto (PDB) dan jumlah pengangguran AS yang akan dilaporkan dalam waktu dekat juga menjadi fokus pasar. Data tersebut dapat mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya.
“PDB yang tumbuh serta peningkatan lapangan kerja akan berpotensi mendorong The Fed menaikkan suku bunga lebih cepat,” ujar Rully.