JAKARTA – Setelah terpuruk dalam beberapa sesi, rupiah tampaknya bersiap untuk kembali ke jalur positif. Menurut paparan Bloomberg Index, mata uang Garuda terpantau menguat 80 poin atau 0,57% ke level Rp14.053 per dolar AS pada perdagangan Senin (15/6) pagi pukul 09.25 WIB. Sebelumnya, spot sempat berakhir melemah tajam 113 poin atau 0,81% di posisi Rp14.133 per dolar AS pada Jumat (12/6) kemarin.
“Pelemahan rupiah seharusnya hanya sementara karena pengaruh risk off atau sentimen global dari jatuhnya pasar saham AS,” tutur Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Nanang Hendarsah, dilansir Bisnis. “Ini dipicu oleh gelombang kedua atausecond wavewabah virus corona di Negeri Paman Sam yang telah menembus angka 2 juta orang terinfeksi.”
Sejalan dengan itu, analisis CNBC Indonesia juga mengutarakan bahwa rupiah bersiap menguat lagi pada transaksi hari ini. Pasalnya, tanda-tanda apresiasi rupiah sudah terlihat di pasar Non-Deliverable Market (NDF). Pada hari ini pukul 07.14 WIB, spot terpantau berada di posisi Rp14.125 per dolar AS, naik dari level perdagangan akhir pekan kemarin di Rp14.187 per dolar AS.
NDF sendiri adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Pasar NDF seringkali memengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot, dan karena itu kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot. Bank Indonesia kemudian membentuk pasar DNDF. Meski tenor yang disediakan belum lengkap, tetapi ke depan diharapkan terus bertambah.
Berbanding terbalik, sejumlah ekonom dalam negeri memperkirakan rupiah masih berpotensi melemah pada perdagangan kali ini. Sikap investor yang mewaspadai gelombang kedua penyebaran virus corona diprediksi akan membuat mata uang dalam negeri takluk melawan greenback. “Laju rupiah akan berkisar dari Rp14.050 hingga Rp14.300 per dolar AS,” ujar Kepala Riset Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra, dikutip MI News.
“Pelemahan mata uang Garuda masih akan dibayangi oleh sikap pelaku pasar keuangan global yang mengantisipasi risiko second wave pandemi virus corona, setelah pembukaan ekonomi di AS dan negara lain,” katanya. “Pelaku pasar juga merespon negatif pernyataan The Fed yang pesimistis ekonomi global akan cepat pulih setelah pandemi.”