JAKARTA – Tren negatif rupiah berlanjut pada perdagangan Senin (5/8) pagi menjelang laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal kedua 2019. Menurut data Bloomberg Index, mata uang Garuda dibuka melemah tipis 3 poin atau 0,02% ke level Rp14.188 per dolar AS. Sebelumnya, spot sudah terdepresiasi 69 poin atau 0,49% di posisi Rp14.185 per dolar AS pada akhir pekan (2/8) kemarin.
“Perang dagang yang kembali memanas akibat pernyataan Presiden AS, Donald Trump, masih menjadi katalis utama,” tutur Direktur Utama PT Garuda Berjangka, Ibrahim, dilansir Kontan. “Akhir pekan lalu, Trump menyebut bakal memberlakukan tarif impor sebesar 10% terhadap barang asal China senilai 300 miliar dolar AS. Alhasil, kurs mata uang Asia cenderung meredup, tak terkecuali rupiah.”
Sementara itu, analis pasar uang Bank Mandiri, Reny Eka Putri, mengatakan bahwa pelemahan rupiah bisa tidak berlanjut dengan satu catatan. Pergerakan mata uang Garuda akan stabil apabila laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal kedua 2019 ini sesuai dengan perkiraan. Menurutnya, kalau ternyata di bawah 5,05% atau tidak sesuai ekspektasi, bisa berbalik menjadi katalis negatif bagi rupiah.
Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) memang dijadwalkan akan merilis laporan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia kuartal dua 2019. Sejumlah ekonom meramalkan, PDB sepanjang April hingga Juni kemarin akan tumbuh melambat akibat faktor Ramadan dan Lebaran. Faktor musiman tersebut dirasa tidak mampu mengerek pertumbuhan ekonomi.
“PDB kuartal II 2019 flat di level 5%-5.1% year on year (yoy),” papar ekonom UoB, Enrico Tanuwijaja. “Konsumsi masyarakat pada Ramadhan-Idul Fitri 2019 tidak sebanyak tahun lalu. Indikasi tersebut tercermin dari hasil survei penjualan eceran Bank Indonesia (BI) periode Mei 2019 yang menunjukkan indeks penjualan riil (IPR) di level 7,7% year on year, lebih rendah dari periode sama tahun lalu di level 8,3%.”
Hampir senada, ekonom BCA, David Sumual, juga menilai bahwa daya beli masyarakat terganggu lantaran harga bahan pokok tidak sepenuhnya terjaga, dengan inflasi bulan Juni kemarin tercatat cukup tinggi di level 0,6%. Terlebih, faktor musiman tersebut bertabrakan dengan sederet peristiwa, mulai dari perang dagang antara AS dengan China dan pemilu.