JAKARTA – Meskipun mampu dibuka menguat, rupiah diragukan untuk bisa tampil perkasa pada perdagangan Selasa (10/3) ini. Menurut paparan Bloomberg Index, mata uang Garuda mengawali transaksi dengan naik 3 poin atau 0,02% ke level Rp14.390 per dolar AS. Sebelumnya, spot ditutup melemah tajam 150 poin atau 1,05% di posisi Rp14.393 per dolar AS pada Senin (9/3) kemarin.
“Rupiah hari ini masih akan melemah ke level Rp14.320 sampai dengan Rp14.410 per dolar AS,” tutur Direktur TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim, dilansir Bisnis. “Pelemahan disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah pemerintah dan Bank Indonesia mengakui bahwa ekonomi global mengalami ketidakpastian akibat perang dagang yang belum usai, virus corona, dan perang tarif antara negara OPEC dan non-OPEC.”
Ibrahim menambahkan, pemeringkat Moody’s pun menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari semula 2,4% menjadi 2,1% sepanjang tahun ini. Sementara, di Indonesia, Moody’s merevisi perkiraan pertumbuhan dalam negeri menjadi 4,8% dari semula 4,9%. “Ini menambah beban kembali bagi bank sentral global untuk kembali bersama-sama menurunkan suku bunga dan menggelontorkan stimulus,” sambung Ibrahim.
Hampir senada, ekonom Bank Mandiri, Reny Eka Putri, dikutip dari Kontan, mengatakan bahwa penyebaran virus corona masih menjadi sentimen utama penggerak rupiah. Meski di China korban terinfeksi berangsur pulih dan membaik, di berbagai negara di luar Negeri Tirai Bambu justru sebaliknya. Imbasnya, pelaku pasar cenderung kembali ke aset aman yang minim risiko.
“Obligasi menjadi alternatif bagi pelaku pasar, di samping dolar AS dan emas sebagai aset safe haven. Pasar obligasi di Amerika Serikat dan Jerman pun menunjukkan kondisi yang cukup positif,” ujar Reny. “Pasar cukup rentan sehingga investor cenderung memegang aset safe haven. Namun, secara fundamental, kondisi Indonesia pada tahun ini masih cukup baik.”
Head of Fixed Income MNC Sekuritas, I Made Adi Saputra, menuturkan bahwa kembali masuknya investor bisa menjadi salah satu kunci kenaikan rupiah. Harapannya adalah kembali masuknya investor asing untuk melakukan pembelian instrumen investasi di Indonesia, apalagi transaksi perdagangan diperkirakan masih cukup berat di tengah ancaman perlambatan ekonomi global.