Jakarta – Kurs rupiah pagi hari ini, Kamis (6/9), mengawali perdagangan dengan penguatan sebesar 63 poin atau 0,42 persen ke posisi Rp 14.875 per dolar AS. Kemarin, Rabu (5/9), nilai tukar mata uang Garuda ditutup melemah tipis 3 poin atau 0,02 persen ke level Rp 14.938 per USD.
Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur pergerakan the Greenback terhadap sejumlah mata uang utama terpantau sedikit melemah. Pada akhir perdagangan Rabu atau Kamis pagi WIB, indeks dolar AS turun 0,3 persen menjadi 95,154 lantaran pound sterling dan euro menguat setelah laporan Bloomberg yang menyatakan jika pemerintah Jerman dan Inggris mengabaikan tuntutan penting Brexit, sehingga berpotensi meringankan jalan bagi kesepakatan pemisahan. Meski demikian, melemahnya mata uang negara-negara berkembang berhasil menopang dolar AS agar tidak terperosok terlalu dalam.
Dolar AS sedikit melemah karena poundsterling merangkak naik usai Bloomberg melaporkan bahwa Jerman akan siap menerima perjanjian yang kurang rinci terkait hubungan ekonomi dan perdagangan di masa mendatang antara Inggris dengan Uni Eropa dalam upaya penyelesaian kesepakatan Brexit. Kemudian pound sterling menyerahkan sebagian keuntungannya usai Jerman membantah laporan itu dan menyatakan pihaknya menyiapkan semua skenario Brexit, termasuk tidak adanya kesepakatan.
“Kami telah memiliki semacam kegagalan posisi jangka pendek sampai batas tertentu,” ujar Karl Schamotta, direktur strategi FX dan produk-produk terstruktur di Cambridge Global Payments di Toronto, seperti dilansir Reuters.
Dari dalam negeri, analis Monex Investindo Futures, Faisyal berpendapat jika rupiah kemarin melemah karena panasnya isu perang dagang antara Amerika Serikat dengan China. Krisis ekonomi yang dialami sejumlah negara berkembang seperti Argentina, Turki, hingga Iran telah membawa efek negatif juga untuk rupiah.
Namun beruntung karena Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi supaya rupiah tidak mengalami koreksi yang terlalu tajam. Sejak Kamis lalu kabarnya BI telah masuk ke pasar untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder hingga Rp 11,9 triliun. Faisyal memperkirakan rupiah masih berpotensi untuk melemah pada hari ini karena adanya rencana AS yang mengenakan tarif USD 200 miliar untuk barang impor asal China.
Apabila China merespons kebijakan itu, maka eskalasi perang dagang akan semakin meningkat dan menekan mata uang dari negara-negara berkembang. “Dalam jangka pendek, rupiah baru bisa menguat kalau BI melakukan intervensi besar-besaran. Saat ini peran pemerintah lebih dibutuhkan dalam meredam pelebaran defisit transaksi berjalan,” sambung Faisyal, seperti dilansir Kontan.