JAKARTA – Kamis (15/11) kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa sepanjang bulan Oktober 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar 1,82 miliar dolar AS. Angka ini lebih tinggi dari perkiraan jajak pendapat Reuters, karena pertumbuhan ekspor yang lesu gagal menutupi angka impor.
Seperti dikutip dari Nikkei, defisit neraca perdagangan yang mencapai angka 1,82 miliar dolar AS ini lebih tinggi dibandingkan survei Reuters yang memperkirakan defisit 170 juta dolar AS, sekaligus melorot dari data September 2018 yang mencatatkan surplus 313 juta dolar AS. Impor pada bulan kemarin melonjak 23,66 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya, menjadi 17,62 miliar dolar AS, jauh lebih tinggi dari prediksi yang sebesar 9,20 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan bahwa defisit ini terjadi karena kebutuhan impor masih mendominasi pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Menurutnya, meski secara global pertumbuhan ekonomi masih menunjukkan tren positif, namun untuk menggenjot ekspor, diakuinya masih cukup sulit.
“Dalam situasi global yang ada sekarang, ekonominya berjalan dengan relatif baik, tetapi ekspornya kesulitan dengan gejolak yang ada sekarang, karena sebagian efek perang dagang (AS-China),” ujar Darmin, dilansir Liputan6. “Jadi, ekspor malah hanya beberapa saja, masih tidak bisa mengimbangi pertumbuhan impor.”
Sementara itu, Bank Indonesia, seperti dikutip Kompas, menganggap defisit neraca perdagangan ini akan memberi dampak positif bagi Indonesia ke depannya. Kegiatan investasi diyakini dapat berkontribusi dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian ke depan. “Dengan perkembangan hingga Oktober 2018, Bank Indonesia memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan tetap berada dalam level aman,” tutur Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman.
Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, telah berjuang untuk mengatasi peningkatan impor dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa langkah, termasuk tarif yang lebih tinggi, sudah diberlakukan untuk mengekang impor, untuk menahan kesenjangan perdagangan, serta mendukung kurs rupiah yang telah kehilangan sekitar 8 persen nilainya terhadap dolar AS sepanjang tahun ini.