JAKARTA – Setelah bergerak seperti yoyo, rupiah akhirnya mampu merangsek ke area hijau pada perdagangan Selasa (31/3) sore, terdorong data indeks manufaktur China bulan Maret yang menunjukkan pertumbuhan yang tidak terduga di tengah wabah coronavirus. Menurut laporan Bloomberg Index pada pukul 15.57 WIB, mata uang Garuda menguat 28 poin atau 0,18% ke level Rp16.310 per dolar AS.
Sementara itu, Bank Indonesia menetapkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) hari ini di posisi Rp16.367 per dolar AS, terdepresiasi 31 poin atau 0,19% dari perdagangan sebelumnya di level Rp16.336 per dolar AS. Di saat yang bersamaan, mayoritas mata uang Asia tidak berdaya melawan greenback, dengan pelemahan terdalam sebesar 0,58% dialami ringgit Malaysia.
Dari pasar global, indeks dolar AS terpantau bergerak lebih tinggi pada hari Selasa, karena investor dan perusahaan bergegas untuk menutupi kekurangan greenback sebelum akhir tahun fiskal mereka, tetapi sentimen tetap rapuh imbas virus corona. Mata uang Paman Sam menguat 0,344 poin atau 0,35% ke level 99,525 pada pukul 15.47 WIB.
Di sisi lain, seperti diberitakan Reuters, yuan China relatif stabil setelah survei utama menunjukkan sektor manufaktur kembali ke pertumbuhan pada bulan Maret 2020. Walau begitu, investor tetap skeptis dengan kenaikan mengingat masih banyak bisnis yang berjuang melanjutkan operasional mereka dari gangguan Covid-19 dan memperkirakan ekonomi China akan mengalami kontraksi ekonomi yang curam pada kuartal pertama.
PMI manufaktur China pada Maret tercatat berada pada level 52,0, yang artinya masih ekspansi dan melawan ekspektasi kontraksi. Sebelumnya, analis yang disurvei oleh Reuters memperkirakan angka PMI manufaktur China di bulan Maret pada level 45. Angka PMI di bawah 50 menandakan kontraksi, sedangkan angka di atas level tersebut mengindikasikan ekspansi.
“Pembicaraannya adalah perusahaan-perusahaan Jepang kekurangan dolar AS, yang kemungkinan akan menjaga tawaran greenback masuk ke London,” kata ahli strategi FX di Daiwa Securities di Tokyo, Yukio Ishizuki. “Kita harus melihat lebih jauh dari itu dan fokus pada apa yang sedang terjadi dalam perekonomian Tiongkok. Bahkan jika ada beberapa data yang positif dari Tiongkok, saya tidak bisa optimistis, karena kegiatan ekonomi di banyak negara terhenti.”