JAKARTA – Rupiah praktis tidak memiliki cukup otot untuk bangkit ke zona hijau pada perdagangan Senin (8/3) sore ketika laju greenback terlalu perkasa, didukung kombinasi stimulus AS, pembukaan kembali yang lebih cepat, dan daya beli konsumen yang lebih besar. Menurut data Bloomberg Index pada pukul 14.59 WIB, mata uang Garuda berakhir melemah 60 poin atau 0,42% ke level Rp14.360 per dolar AS.
Sementara itu, menurut data yang dirilis Bank Indonesia pukul 10.00 WIB, kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) berada di posisi Rp14.390 per dolar AS, terkoreksi 19 poin atau 0,13% dari transaksi sebelumnya di level Rp14.371 per dolar AS. Di saat yang bersamaan, mayoritas mata uang Asia juga tidak berdaya melawan greenback, dengan pelemahan terdalam sebesar 0,59% dialami won Korea Selatan.
Dikutip dari Reuters, pelemahan yang dialami mata uang Benua Kuning tidak terlepas dari pergerakan positif dolar AS yang terus kokoh berada di dekat posisi tertinggi tiga bulan, didukung pengesahan Senat AS atas stimulus fiskal sebesar 1,9 triliun dolar AS. Mata uang Paman Sam terpantau menguat 0,095 poin atau 0,1% ke level 92,072 pada pukul 11.04 WIB.
“Kombinasi yang kuat dari stimulus AS, pembukaan kembali yang lebih cepat, dan daya tembak konsumen yang lebih besar jelas positif untuk dolar AS,” papar analisis BofA, Athanasios Vamvakidis. “Termasuk paket stimulus yang diusulkan saat ini dan keuntungan lebih lanjut dari tagihan infrastruktur paruh kedua, total dukungan fiskal AS enam kali lebih besar dari dana pemulihan Uni Eropa. The Fed juga mendukung suplai uang AS yang tumbuh dua kali lebih cepat daripada zona Eropa.”
Investor ekuitas mengambil momen dari data AS yang menunjukkan nonfarm payrolls melonjak 379.000 pekerjaan pada bulan lalu, sementara tingkat pengangguran turun menjadi 6,2% sebagai tanda positif untuk gaji, pengeluaran, dan pendapatan perusahaan. Namun, Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, mencatat bahwa tingkat pengangguran sebenarnya mendekati 10% dan masih ada banyak kelonggaran di pasar tenaga kerja.
Dalam pertemuan terakhir, The Fed mengatakan suku bunga acuan mungkin baru naik pada 2023. Namun, dengan ekonomi yang semakin membaik, dan kemungkinan tekanan inflasi akan datang lebih cepat, bukan tidak mungkin kenaikan suku bunga akan dipercepat. Mengutip CME FedWatch, kemungkinan The Fed mempertahankan suku bunga acuan pada akhir 2021 adalah 96%, lebih rendah dibandingkan posisi sepekan lalu yaitu 97,9%.