JAKARTA – Rupiah masih belum bisa lepas dari teritori merah pada perdagangan Senin (22/6) pagi. Menurut paparan Bloomberg Index pada pukul 09.20 WIB, mata uang Garuda melemah 45 poin atau 0,32% ke level Rp14.145 per dolar AS, setelah dibuka drop 7 poin. Sebelumnya, spot sudah ditutup terdepresiasi 22 poin atau 0,16% di posisi Rp14.100 per dolar AS pada akhir pekan (19/6) kemarin.
“Fokus pasar pada pekan ini akan kembali tertuju kepada perkembangan data eksternal, sehingga membuat rupiah berpotensi bergerak sideways pada awal minggu,” papar Kepala Ekonom BCA, David Sumual, dilansir Bisnis. “Kalau sentimen pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia pada pekan kemarin, sudah dinilai oleh pasar, dan hal itu pun sesungguhnya sesuai ekspektasi pasar sehingga tidak ada pengaruh signifikan.”
David sendiri menilai, kestabilan nilai tukar rupiah menjadi poin yang lebih penting dibandingkan dengan penguatan signifikan melawan dolar AS. Volatilitas yang tinggi dianggap akan menyulitkan pelaku bisnis, terutama di sektor riil, untuk membuat keputusan investasi. “Kalau rupiah kuat sendirian di antara mata uang lainnya, tidak ada daya saing, dan kalau lemah sendirian juga tidak baik untuk rupiah,” sambung David.
Sementara itu, Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Fikri C. Permana, mengatakan bahwa jadwal pembayaran kupon utang dan pembagian divide akan mulai memberikan dampak pada pergerakan nilai tukar rupiah sepekan ke depan. Sentimen domestik lain yang bakal menjadi penggerak kurs rupiah sepekan ke depan adalah dampak dari penurunan suku bunga acuan yang baru dilakukan Bank Indonesia (BI).
“Itu memungkinkan investor global untuk menahan diri masuk ke pasar Indonesia sementara waktu, seiring pertumbuhan pasien COVID-19 global dan domestik yang juga masih meningkat,” ujar Fikri, dikutip Kontan. “Meskipun begitu, sentimen eksternal seperti ketegangan di Hong Kong, perbatasan India dan China, serta sentimen decoupling ekonomi AS terhadap China masih menjadi perhatian.”