JAKARTA – Rupiah masih betah di zona merah ketika mengawali perdagangan Senin (6/1) pagi. Menurut catatan Bloomberg Index, mata uang Garuda membuka transaksi awal pekan dengan melemah tipis 3 poin atau 0,02% ke level Rp13.933 per dolar AS. Sebelumnya, spot sudah terdepresiasi 37 poin atau 0,27% di posisi Rp13.930 per dolar AS pada Jumat (3/1) kemarin.
“Memanasnya hubungan antara AS dan Iran setelah serangan rudal AS yang menewaskan Jenderal Iran Qassem Soleimani dan komandan milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis menyebabkan harga minyak naik cukup tajam sehingga menjadi sentimen negatif bagi rupiah,” ujar Direktur Utama PT Garuda Berjangka, Ibrahim, dilansir Bisnis. “Saat harga minyak naik, biaya impor komoditas pun ikut melejit. Ketika semakin banyak devisa yang dibakar untuk impor minyak, rupiah menjadi korban.”
Hampir senada, ekonom Bank Mandiri, Reny Eka Puteri, pun menyebutkan bahwa pergerakan rupiah pada perdagangan hari ini lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen geopolitik. Penyerangan AS ke Iran membuat harga komoditas minyak dan emas sebagai safe haven melonjak. “Dari dalam negeri, juga belum ada sentimen yang mampu mengangkat nilai tukar rupiah,” tutur Reny.
Sebenarnya, sepanjang pekan lalu, rupiah masih bisa menguat 0,18% terhadap dolar AS. Bahkan, dalam sebulan terakhir, apresiasi rupiah termasuk sangat tajam, mencapai 1,28%. Namun, hal tersebut juga membuat mata uang domestik rawan terserang aksi ambil untung (profit taking). Penguatan yang sudah tajam tentu akan menggoda investor untuk mencairkan keuntungan, sehingga tekanan jual akan membuat nilai tukar rupiah.
“Selain itu, memang ada sentimen yang membikin pelaku pasar punya alasan kuat untuk melakukan profit taking. Setelah perang dagang AS-China, kini investor punya kekhawatiran baru, yaitu risiko perang betulan di Timur Tengah,” tulis CNBC Indonesia. “Karena itu, sangat wajar investor cemas dan meninggalkan aset-aset berisiko. Demi mencari aman, aset-aset berstatus safe haven lantas menjadi buruan utama.”