JAKARTA – Angka produk domestik bruto (PDB) China tahun 2018 yang dilaporkan mencapai level terendah dalam 28 tahun terakhir membuat mayoritas mata uang Asia terpuruk pada awal pekan (21/1), tidak terkecuali rupiah. Menurut paparan Bloomberg Index pukul 15.58 WIB, mata uang Garuda melemah 49 poin atau 0,35% ke level Rp14.227 per dolar AS.
Sementara itu, Bank Indonesia siang tadi menetapkan kurs tengah berada di posisi Rp14.212 per dolar AS, terdepresiasi 30 poin atau 0,21% dari perdagangan sebelumnya di level Rp14.182 per dolar AS. Di saat yang bersamaan, mayoritas mata uang Asia takluk versus greenback, dengan pelemahan terdalam sebesar 0,48% menghampiri won Korea Selatan.
Pagi tadi, Biro Statistik Nasional mengumumkan bahwa PDB China pada tahun 2018 kemarin sebesar 6,6%, atau level terendah sejak 1990. Perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu terjadi karena sektor investasi yang lesu dan tingkat kepercayaan konsumen melemah seiring tekanan perdagangan dari saingan utama, AS.
Tanda-tanda perlambatan sebetulnya telah tampak beberapa bulan terakhir, seperti aktivitas perdagangan yang lebih sepi dan meningkatnya angka pengangguran. Analis UBS menghitung jumlah pekerjaan yang berkaitan dengan ekspor bakal berkurang hingga 1,5 juta pekerjaan akibat perang dagang. Perlambatan ekonomi China ini pun memicu kekhawatiran tentang risiko pertumbuhan ekonomi dunia.
Dari pasar global, indeks dolar AS sebenarnya cenderung bergerak lebih rendah pada hari Senin, namun tetap berada di dekat level tertinggi dua minggu, didukung pemulihan meningkatnya minat terhadap aset berisiko, sekaligus mendongkrak imbal hasil Treasury AS. Mata uang Paman Sam terpantau hanya melemah tipis 0,058 poin atau 0,06% ke posisi 96,278 pada pukul 12.48 WIB.
“Indeks dolar AS jelas berada di jalur pemulihan. Mata uang sebelumnya telah menurun sejak awal Januari, tetapi sekarang sedang dibeli kembali,” kata ahli strategi valas senior di IG Securities di Tokyo, Junichi Ishikawa, dilansir Reuters. “Apakah sentimen yang mendukung dolar AS dapat berlanjut, akan tergantung pada bagaimana pendapatan perusahaan AS dan China di tengah konflik perdagangan dan politik AS yang masih tidak stabil.”