Untuk mencegah dan menindak bila terjadi tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjalin kerjasama dengan industri perbankan dalam hal penyelarasan sistem data. Penyelarasan sistem data itu khususnya ditujukan untuk nasabah yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan publik dan operasional partai politik atau politically exposed person (PEP).
“Sinkronisasi data PEP ini agar KPK bisa memberi early warning dan agar industri perbankan prudent,” jelas Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif, Selasa (4/10) kemarin. “Penyelarasan itu dilakukan untuk memberi peringatan dini bagi industri perbankan dalam mengawasi setiap transaksi yang dilakukan oleh nasabah, khususnya PEP.”
Ditambahkan Laode, saat ini setiap bank di Indonesia memiliki data PEP sendiri. Hal itu otomatis menyulitkan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengawasi setiap transaksi mencurigakan yang dilakukan PEP. “PPATK hanya bisa mengawasi transaksi dengan nilai minimal Rp500 juta. Sementara, dalam praktiknya, koruptor kerap membuat banyak rekening dan melakukan transaksi yang nilainya di bawah Rp500 juta,” sambung Laode.
Selain untuk kepentingan informasi, penyelarasan data PEP ini juga secara khusus untuk mengawasi tindak pidana pencucian uang yang sering dilakukan koruptor. KPK sendiri banyak menemukan koruptor kerap mengalirkan dana mereka ke kerabat atau orang terdekat. “Dengan adanya kategori PEP ini, perbankan dapat lebih mudah berkoordinasi dengan PPATK dan OJK jika ada transaksi mencurigakan,” tambahnya.
Laode sendiri mengusulkan kepada PPATK, OJK, dan industri perbankan bahwa nasabah yang masuk kategori PEP adalah nasabah yang merupakan pejabat negara, pengurus teras partai politik, dan anggota lembaga legislatif serta yudikatif. “Pokoknya, orang yang betul-betul terekspos secara politik,” pungkas Laode.